Indigonews | Pematangsiantar – Pada awal millenium ketiga, isu tentang kelestarian sumber daya alam sudah bergeser ke ranah yang jauh lebih penting yaitu kelestarian kehidupan manusia (sustainable livelihood). Daya dukung lingkungan yang semakin menurun, pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dan perilaku eksploitatif yang tidak ramah terhadap lingkungan, menyebabkan masa depan kehidupan di bumi semakin terancam.
Jika mengacu pada terminologi bahwa tiada hutan maka tiada masa depan (no forest no future), jelas bahwa adanya hutan merupakan jaminan kelangsungan kelangsungan hidup manusia. Oleh sebab itu, hutan harus dilestarikan fungsinya sebagai fungsi ekonomi, sekaligus fungsi konservasi dan sosial. Dalam kaitan itu, kebijakan pembangunan kehutanan ke depan memprioritaskan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu yang saat ini belum dikembangkan secara optimal. Hasil penelitian yang dilakukan para ahli kehutanan menyatakan bahwa potensi hasil hutan kayu hanya 5%, sedangkan hasil hutan bukan kayu sebesar 95%.
Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada dasarnya merupakan pemanfaatan jasa lingkungan seperti pengelolaan wisata alam, penyerap karbon, penyedia air untuk kebutuhan sehari-hari dan energi; serta pemanfaatan jenis tumbuhan pengembangan produk hasil hutan bukan kayu (HHBK) unggulan antara lain bambu, gaharu, sutera, madu, aren serta rotan.
Potensi HHBK di Jawa Barat cukup tinggi, dengan beberapa produk unggulan antara lain sutera alam, rotan, lebah madu, bambu, jamur kayu, aren hutan serta kopi hutan, yang dikembangkan melalui Program Model Desa Konservasi (MDK) pada kawasan Hutan Konservasi, Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) pada kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi, serta secara swadaya oleh masyarakat di lahannya masing-masing.
Sejalan dengan itu, dalam rangka optimalisasi pemanfaatan hasil hutan untuk kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dengan tetap menjaga kelestarian hutan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengambil kebijakan strategis yaitu dengan menerbitkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 10 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 49 Tahun 2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Nomor 10 tahun 2014.
Salah satu implementasi dari kebijakan tersebut yaitu pengelolaan Hutan Lestari di lahan Hutan Rakyat yang tergabung dalam Unit Manajemen Hutan Rakyat (UMHR) melalui pengembangan Agroforestry Aren Hutan di Kabupaten Tasikmalaya yang selanjutnya akan diintegrasikan dengan kegiatan yang sama di Kabupaten Garut dan Ciamis. Luasan keseluruhan sekitar 15.000 Hektar.
Pola-pola pengembangan agrofestry secara tradisional/sederhana telah berkembang di masyarakat, termasuk budidaya aren hutan sehingga hasilnya belum optimal dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Oleh karena itu, penelitian ilmiah perlu dilakukan untuk membantu meningkatkan nilai usaha aren hutan tersebut, antara lain perbenihan dan pembibitan, hama dan penyakit, serta komposisi dan keragaman jenis tanaman. Inovasi teknologi yang memenuhi standar kelayakan teknis, ekonomis dan lingkungan juga sangat diperlukan untuk mewujudkan produktivitas tinggi dan kelestarian hasil baik dalam kegiatan budidaya maupun pengolahan hasil dari aren hutan. Aspek lainnya yang cukup penting yaitu penguatan kelembagaan melalui pembentukan Asosiasi Petani Aren Hutan Jawa Barat, Gabungan Koperasi Aren Hutan Jawa Barat dan Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Aren Hutan (yang keanggotaannya terdiri dari unsur petani, pemerintah, perguruan tinggi serta swasta). Lamhot’S
Discussion about this post