IGNews | Jakarta – Nazarudin Ali dari Setara Institut membuka
tema radikalisme di lingkungan anak muda di gedung Graha Oikoumene Lantai 3, Jl Salemba Raya, No.10 Jakarta Pusat, Rabu (12/2/2020).
Menunjukkan terlebih dahulu soal tidak hanya di kalangan muda tapi rakyat indonesia umumnya. Extrinisem, milenial 34% di indonesia usia 21 – 36 katagori milenial. Melinial termuda 10 – 20 29%.
Penduduk indonesia didominasi Anak muda, baik tidaknya anak muda kedepan adalah potret wajah Indonesia 5 -10 tahun ke depan.
“Kita tidak bisa melepaskan soal kampus universitas” ujarnya.
Cara mengatasinya harus memutuskan mata rantai tidak hanya di BUMN, tapi di Perguruan tinggi merupakan sumber doktrin tertinggi.
“Problem utama bukan melulu di ASN dan BUMN, justru masalah utama ada di kampus, selama kita tidak berhasil memutuskan mata rantai radikalisme di perguruan tinggi maka kita tidak akan pernah berhasil mewujudkannya” pungkasnya.
Perguruan tinggi Negeri menjadi basis utama. Mahasiswa yang paling sensistif terpapar adalah exsakta.
Paham literal kelompok kelompok intoleran dari survey membuktikan orang Indonesia itu bila di suruh memilih ideologi atau agama dari konteks IdeoIogi berbangsa dan Negara sebenarnya Pancasila tidak bisa di pertentangkan, tetapi ada yang memilih ideologi Indonesia berbasis agama 18% (Nasional), sedang kalangan anak muda 23%.
Menghadapi potret anak muda saat ini apa yang harus di lakukan, karena melihat dari perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak jauh dengan Pancasila.
Kalau bisa menahan pemaparan sampai 15% itu sudah bagus, kuncinya merebut kampus kampus yang di dominasi kelompok tersebut. Karna kelompok tersebut melihat kampus Negeri sudah mulai terbatas, maka mereka mulai bergerak ke kampus kampus swasta.
“Ada yang salah kaprah antara radikal dan intoleran. Intoleran belum tentu radikal, yang radikal sudah pasti intoleran” tegasnya.
Saat ini Pemerintah gagal menjamin intoleran seperti fenomena hijrah. Semangat keagamaan yang tinggi tetapi bekalnya kurang mendekati kelompok hijrah.
“Tugas kita harus hadir menemani kelompok ini melalui fisik dan sosial” ucapnya.
“Di kalangan Anak muda tidak mudah karena ada militansi yang luar biasa. Kita harus menandingi militansi yang luar biasa juga” ungkapnya.
Idris dari PBN mengemukakan sedik mencoba menghindar dari kata radikalisme dan ektrimisme yang istilahnya jauh ke kiri atau lebih jauh kekanan.
Idris mencoba mencari definis radikalisme yang beredar itu dan apa sebenarnya yang ditakuti pemerintah saat ini. Apakah dengan Menolak NKRI, tidak hormat pada bendera, tidak bernyanyi Indonesia raya apakah itu sdh di sebut radikal.
“Indiktator eztrimisme itu dengan menolak orang lain dikatakan Intoleran sedang toleransi memiliki sikap meyakini menghargai. Keyakinan itu tidak bisa di goyang dengan teologi” ungkapnya.
“Toleran pasif bisa kita lihat dengan sikap cuek asal tidak mengganggu. Sedang Toleran aktif itu seperti kerja sama. Seperti melakukan kebersihan lingkungan bersama, menjaga keamanan bersama dan lainnya yang bersifat kebersamaan dan perduli” cetusnya.
Ada dua pintu masuknya Intoleran, jalur Kementrian Agama dan Kementrian Pendidikan Nasional. Saat ini yang beredar di buku buku pelajaran yang membias. Guru gurunya juga begitu sehingga para pelajar yang menerima ilmu menjadi terkepung.
Saat ditanya pandangan wakil rakyat pandangan mereka berbeda sekali di Home School juga bermasalah. Pandangan Parpol terhadap pendidikan Agama juga tidak terarah sehingga terbengkalai oleh semua agenda mereka.
“Intinya harus diperbaiki dengan kebijakan kebijakan itu. Umat ini bukan hanya monopoli umat Islam tapi tapi juga agama lain. Yang dimaksud dari semua itu umat harus memiliki sosok keteladanan” jelasnya.
Tidak exrim kekiri dan kekanan melainkan imbang. Pendeta dari PGI mengatakan strategi yang paling ampuh adalah dialog lintas Agama, dialog peradaban.
Tidak ada cara lain selain dialog sudah banyak riset dilakukan dari 10 perguruan tinggi di Indonesia, ternyata sudah terpapar radikalisme.
“Seperti UI, ITB dan lainnya pola yang dikerjakan sangat rapi sistimatis. Rekruitmennya sudah di mulai dari PAUD. Dari penelitian bukan hanya dari murid tapi juga guru gurunya” pungkasnya.
Celah dialog peradaban itu dirambah oleh kelompok radikalisme dengan menguasai kampus. Seperti kelompok Cipayung dan agenda lainnya.
Dialaog yang berhasil itu dialog informal, kelompok radikal tidak punya agenda, masalah pada pemerintah, tidak mengabdi pada konstitusi tapi konstituen. Siapa yang memenangkan ruang publik seperti media maka itu srategi untuk menghadapi radikal.
Ismail Hasani dari setara Insitut mengatakan rezim yang demokratik tidak mampu mengendalikan bisa memunculkan rezim lama. Kemunculan ini dapat di mamfaatkan oleh kekuatan ketiga.
Kekuatan ketiga adalah kekuatan yang medorong kekuatan agama dan moralitas. Apakah Tidak beragama, tidak bermoral harus di hakimi? terlihat hari ini yang bekerja bukan idiologi politik Agama yang bermoralitas, melainkan kekuatan ketiga.
“Kekuatan kekuatan ketiga ini ada dilevel masyarakat dan terus bekerja merangsak kecelah celah ruang publik dengan Perda Perda yang dibuat karna ruang publik adalah politik” ujarnya.
Menggunakan power kemampuan untuk mewujudkan kehendak yang dikehendaki sehingg menguatkan politik identitas.
Untuk mengembalikan harapan harapan semua itu tidak cukup sebatas diskusi tetapi harus dipetakan, harus lebih militan dari generasi Cipayung di masa lalu. Untuk mereka yang hijrah jangan dibenci karena akan semakin radikal, sebaliknya di rangkul. Zeffan





Discussion about this post