IGNews | Toba – Enam Rumah Adat Batak (Balairong.red) yang merupakan benda cagar budaya sesuai Perda No 12 Tahun 2017 tentang rencana tata ruang wilayah Kabupaten Toba Samosir Tahun 2017 – 2037. Pasal 29 angka (3) kawasan cagar Budaya terdiri atas: huruf (a) Balairung Pusat Pasar Balige Kecamatan Balige.
Satu dari Enam Rumah adat Batak (Balairong.red) di Jalan Singamangaraja Balige yang dirubah menjadi Galery Dekranasda Toba yang menghilangkan filosopi Batak yakni jumlah delapan tiang Rumah Adat Batak tertutup oleh susunan batu bata yang di Plester Semen bercat orange, begitu juga tampak depan dengan jendela kaca dan memiliki pintu kaca sehingga tidak berkharisma budaya batak atau menghilangkan wujud asli dari Rumah Adat Batak itu, hal itu diungkap Ir. Djonggi I Napitupulu dan Berlin Marpaung sebagai pembicara dalam rapat koalisi LSM Sabtu (30/5/2020) di Balige.
Rapat koalisi LSM tersebut yang dihadiri para anggota masing masing memperdebatkan satu dari enam Rumah Batak yang berada di inti kota Balige yang pernah dikunjungi para Menteri bahkan ibu Negara RI.
Berlin Marpaung aktifis Merah Putih Nusantara mengatakan bahwa Marsarasi Simanjuntak sebagai Pengguna Anggaran kepala Dinas Koperindag Toba ketika itu harus bertanggung jawab atas beraninya merubah cagar budaya tersebut.
“Apaka Galery Dekranasda Toba itu merupakan titipan penguasa agar pembangunan dibuat di satu dari enam Rumah Adat Batak (Balairong.red)?” tanya Berlin.
Sementara Direktur IP2Baja Nusantara Ir. Djonggi I Napitupulu menjelaskan di rapat tersebut, dalam pasal 15 angka (2) huruf (d) Undang Undang Nomor 5 tahun 1992, tanpa izin dari pemerintah setiap orang dilarang mengubah bentuk dan/atau warna serta memugar benda cagar budaya.
Terkait itu Marsarasi Simanjuntak berikutnya pihak ketiga dalam pembangunan tersebut sudah dapat diproses secara hukum yang berlaku seperti tertuang dalam Pasal 26 “Barang siapa dengan sengaja merusak benda cagar budaya dan situs dan lingkungannya atau membawah, memindahkan, mengambil, mengubah bentuk dan/atau warna, memugar, atau memisahkan benda cagar budaya tanpa izin dari Pemerintah sebagaimana dimasuk pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10(sepuluh) tahun dan/atau denda setinggi tingginya Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah).
Diharapkan para Aparat Penegak Hukum atau APH dalam hal ini memproses dan mengadili bahkan hukum harus ada atas perbuatan oknum oknum yang tidak bertanggungjawab.
“Jangan biarkan hal itu, segera bongkar dan kembalikan ke wujud semulah” tandasnya Djonggi.
Ketika hal itu dikonfirmasi dengan Marsarasi Simanjuntak mengatakan pembangunan enam rumah adat Batak akan dilaksanakan.
”Itu Balairong akan dinaikkan agar jangan terlampau rendah dan perencanaannya sudah selesai tetapi karena Covid- 19 sehingga pembangunan terhambat, nanti lah disitulah Galery Dekranasda Toba di bongkar” ucapnya baru baru ini di kantor Bupati.
Menanggapi hal itu, sejumlah warga Balige yang sedang berbincang dengan Indigonews sambil minum Kopi mengatakan “Untuk membuat suatu terobosan atau program tentu harus di pahami atau dikaji dengan matang, jangan menghilangkan sejarah demi meraup keuntungan, melakukan pembohongan hanya untuk meraup keuntungan serta”.
Keenam bangunan Baleirong merupakan Filosopi adat Batak yang sudah masuk pada Cagar Budaya, namun Filosopi tersebut hilang seketika karena kepentingan untuk meraup keuntungan, dan juga sebagai simbolis atas kinerja Pemerintah Kabupaten Tobasa di hadapan Presiden RI Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana Joko Widodo, namun setelah acara atau kunjungan selesai, bahwa Galery Dekranasda sudah kadang tutup dan kadang buka, namun yang menjadi korban adalah sejarah Filosopi Batak.
“Untuk itu, kita juga selaku Warga meminta pihak Aparat Penegak Hukum (APH) agar segera menyikapi kejadian ini, penghilangan sejarah ini,dimana unsur praktek korupsi sudah terindikasi terjadi, baik pada perubahan bangunan sejarah dan bahkan pada pembangunan Galery Dekranasda” tegas Warga. Freddy Hutasoit





Discussion about this post