IGNews | Jakarta – Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa tujuan pendidikan itu adalah untuk memandu kodrat manusia agar kehidupannya selamat dan mencapai kebahagian yang setinggi tingginya.
Apakah pendidikan yang kita peroleh selama ini, telah menyelamatkan dan membawa kehidupan kita pada kebahagiaan yang lebih tinggi. Inilah yang menjadi harapan dan tantangan pendidikan kita ke depan.
Pendidikan telah mentransformasi kita menjadi “manusia baru”. Tetapi, dalam kerangka hidup bersama, masih menyisakan kehidupan yang pelik dan kompleks.Bukan kebahagiaan yang kita peroleh, justru kekuatiran baru, atas berbagai dinamika perilaku manusia di dunia, yang mengancam kehidupan itu sendiri.
Pendidikan telah dirancang untuk menciptakan manusia-manusia mekanis. “Robot robot” untuk melayani kapitalisme. Jargon Links and Match dalam sistem pendidikan kita menjadi sarana efektif menopang sistem kapitalisme.
Lihat saja misalnya, jurusan dan program studi yang diserbu calon mahasiswa baru di PT, pasti jurusan dan program study yang cepat terserap dalam bursa kerja. Disinilah Praghmatisme itu dimulai. Konsep diri kita tentang: pintar, sukses, bahagia diformat oleh “pasar”, bukan oleh nilai nilai luhur yang bersumber dari agama dan budaya.Bayangan hidup sejahtera: gaji gede, memiliki fasilitas hidup mewah, hidup praktis, eksis dalam kehidupan sosial, merupakan impian orang kebanyakan.
Kita menjadi tertindas oleh pendidikan kapitalis. Paulo Freire, filsuf pendidikan dari Amerika Latin, menarasikan pendidikan para kaum tertindas secara apik. Dia mengatakan bahwa, manusia sering terjebak dalam suatu kehidupan yang mekanistis.Manusia ditindas oleh sebuah sistem yang dianggapnya benar padahal sudah menyimpang dari hakekat hidup. Freire mencoba menyadarkan kita bahwa pendidikan itu bukan membuat kita sebagai “alat” bagi kepentingan orang lain, melainkan dalam rangka memanusiakan kemanusiaan kita.
Zaman post truth dewasa ini, tantangan pendidikan kian berat. Sarana pendidikan dikelola dalam industri 4G. Digitalisasi menjadi keniscayaan.Semua Ilmu bukan lagi: di buku, di perpustakaan, di sekolah, tetapi di gadget. Sehingga philosofi kependidikan itu tercerabut dari akarnya. Pedagogi kehilangan makna. Tujuan pendidikan melalui: Cognitif, afektif, dan Psikomotorik tidak lagi dilatih dalam konteks kebersamaan.sehingga semakin banyak pribadi pribadi yang egois dan individualis.
Barangkali, kita perlu merenung.Kenapa Bangsa Yahudi pintar pintar. Keadaanlah yang membuat mereka pintar. Dalam sejarah bangsa-bangsa, tidak ada bangsa/ suku yang paling menderita selain Bangsa Yahudi. Dalam setiap penderitaanya, dia merenung, meratap, mengosongkan diri, hingga membayangkan hadirnya Tuhan untuk menolong penderitaanya itu. Dia menjadi terbiasa ber imaginasi, membayangkan, mengharap, sesuatu yang baik bagi dirinya. Dia mengharap sesuatu yang tidak mungkin, tetapi dia kerjakan pelan-pelan dengan cara cara yang mungkin dan logis. Kebiasaan yang sudah berlangsung sejak dahulu kala itu masih berlangsung hingga sekarang.
Kita harus belajar tentang jatidiri. Tidak mudah diombang ambingkan oleh fenomena, trend, modernitas semu, pengakuan palsu. Pendidikan bukan ditujukan untuk kepentingan parsial, melainkan humanisme yang universal.
Ajaran Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan masih relevan kita aplikasikan hingga sekarang, yaitu: Ing ngarso sung Tulodo, Ing madya Mangun karsa, Tut wuri Andayani. Yang di depan harus menjadi teladan, yang di tengah harus memberikan semangat, dan yang dibelakang harus kuat mendorong.
******Selamat Hardiknas 2 Mei…….!!!*****
Penulis: Jhonsar Lumbantoruan (Mantan Staf Ahli masa Basuki Tjahaja Purnama/ Ahok di DPR RI).





Discussion about this post