IGNews | Taput – Prof. Ir. Yusuf Leonard Henuk M.Rur.Sc, Ph.D sampai saat ini menolak dieksekusi karena putusan Hakim PN Tarutung, Hendra Hutabarat SH diyakininya berbelit beli. Anehnya, terbitnya surat ekseksui todak ada tembusan Kepala
Kejaksaan Negeri Tarutung dan Kepala Kepolisian Resor Tapanuli Utara dan dalam amar putusan tidak ada disebut terdakwa harus jalankan putusan tahanan.
Saat proses pemeriksaan juga, Hakim Natanael Sitanggang SH bersama Hendra Hutabarat SH tidak pernah mengeluarkan perintah penahanan terhadap terdakwa.
Sisi lain, Prof. YLH menolak atau keberatan dieksekisi bahwa terkait eksekusi (pelaksanaan isi putusan) terhadap terdakwa sepenuhnya merupakan kewenangan Jaksa sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 6 huruf a Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana.
“Menurut hemat kami bukan lagi merupakan kewenangan Pengadilan Negeri Tarutung, melaksanakan eksekusi putusan, dikarenakan hal sepenuhnya merupakan kewenangan Jaksa c/q Kejaksaan Negeri Tapanuli Utara” jelas Prof. YLH.
“Sudah tidak dibantah bahwa: kesalahan dari Hakim Hendra Hutabarat SH dari Pengadilan Negeri Tarutung dalam membuat amar putusannya seharusnya membuat putusan yang jelas dan konkrit seperti Hakim Natanael Sitanggang SH, sehingga tidak ada yang membuat penafsiran sendiri, baik itu Jaksa maupun Polisi dan terpenting Hakim yang membuat putusan selalu membuat acuan Perma Nomor 2 Tahun 2012, tapi kenapa putusan Hakim Hendra Hutabarat SH beda sekali dengan Hakim Natanael Sitanggang SH?” tanya YLH dengan ragu.
“Apakah putusan dari Hakim Hendra Hutabarat SH merupakan sebuah kesengajaan sehingga ada cela seperti ini?”. Bahkan, bisa diduga kuat ada pesan sponsor dari pihak lain agar Hakim Hendra Hubarat SH bisa membuat putusan kontroversial dibanding Hakim Natanael Sitanggang SH, sehingga bisa penjarakan terdakwa” tegas YLH.
Prof. YLH kembali memaparkan, walaupun kenyataan sesuai ketentuan Pasal 1 angka 6 huruf a Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana bahwa: “Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan terdakwa telah paham betul bahwa eksekusi merupakan pelaksanaan putusan hakim terhadap perkara pidana yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Namun, jaksa dari Kejaksaan Negeri Tapanuli Utara harus paham juga bahwa ekseskusi harus dicantumkan jelas dalam amar putusan hakim agar tidak perlu disalah tafsir, memiliki kepastian hukum dan dasar yang kuat dalam pelaksanaannya.
Pada kenyataannya, dalam amar putusan Prof. YLH sudah jelas terbaca bahwa: “Hakim tidak pernah mengeluarkan perintah penahanan terhadap Terdakwa”.
“Dengan demikian, jaksa harus mengindahkan juga norma norma hukum yang terlah berlaku umum dalam melaksanakan wewenangnya, seperti Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyelesaian Batasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dan Pasal 205 ayat (1) KUHAP sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 8 ayat (1) Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan” jelas Prof. YLH.
Jaksa juga harus memahami pengertian: “Lex specialis derogat legi generali” yang bermakna: “asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).
Dengan demikian, dalam upaya melaksanakan eksekusi putusan Prof. Yusuf L Henuk , Jaksa dari Kejaksaan Negeri Tapanuli Utara harus terlebih mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri Tarutung untuk mengoreksi amar putusan Terdakwa dari Hakim yang sudah jelas menyatakan bahwa: “Hakim tidak pernah mengeluarkan perintah penahanan terhadap Terdakwa”.
“Pada keyataannya, klarifikasi dari Ketua Pengadilan Negeri Tarutung mendukung temuan saya yang telah publikasi di akun Twitternya pada 12 Juli 2022 bahwa berdasarkan kompilasi dari database Mahkamah Agung ditemukan dari 890 putusan, terdapat 58 kasus Tipiring justru mayoritas pelaku Tipiring diputus pidana percobaan dan tidak ada dipenjara, berarti tidak melanggar Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyelesaian Batasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dan Pasal 205 ayat (1) KUHAP” tuturnya.
“Dengan demikian, surat Kasat Reskrim, Kepolisian Resor Taput Nomor :B/990/VII/2022/Reskrim, Tanggal 11 Juli 2022, Perihal: Bantuan Menghadirkan Saudara Prof.Ir. Yusuf Leonard Henuk, Ph.D yang ditujukan kepada Rektor Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Tarutung guna hadir di: Ruang Unit IV Tipiter Sat Reskrim Polres Tapanuli Utara, Hari/Tanggal: Jumat/15 Juli 2022, Jam : 10.00 WIB, Tanggal 15 Juli 2022, merupakan suatu kesalahan fatal yang telah dilakukan oleh pihak Kepolisian Resor Tapanuli Utara yang telah keliru menggunakan kewenangannya dan bahkan sudah merupakan tindakan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), karena memerintahkan seorang Rektor untuk menyerahkan saya ke penyidik tanpa adanya alasan/ dasar yang pasti, sehingga sudah pasti merupakan suatu bentuk pelecehan terhadap status seorang Rektor” kesal YLH.
“Sedangkan, dalam surat saya benar sekali dugaan bahwa: 1). Dalam amar putusan Hakim, tidak ada perintah yang menyatakan bahwa Jaksa dari Kejaksaan Negeri Tapanuli Utara untuk melakukan penahanan kepada saya, Sehingga terbukti jika Jaksa dari Kejaksaan Negeri Tapanuli Utara hanya membuat penafsirannya sendiri mengenai vonis yang telah diputus oleh Hakin di Pengadilan Negeri Tarutung terhadap saya tanpa meminta petunjuk dari Ketua Pengadilan Negeri Tarutung” katanya.
“Poin ke 2). Aparat penegak hukum baik Kepolisian dalam hal ini penyidik, dan penuntut mempunyai
penafsiran berbeda tentang aturan tindak pidana ringan, para penyidik, dan penuntut umum lebih menekankan pada aspek materiil dari unsur unsur tindak pidana ringan tersebut, namun tidak berpegang kepada aspek formil sebagaimana yang sudah diatur dalam KUHAP maupun Perma No. 12 Tahun 2012. Apabila kepolisian masih tetap melakukan penahanan terhadap pelaku tindak pidana ringan (Tipiring), maka langkah yang harus dilakukan adalah mengajukan permohonan praperadilan terhadap Kepolisian dengan dasar dan alasan penahanan tidak sah, karena melawan hukum melanggar KUHAP dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 12 Tahun 2012″ bebernya lagi.
“Oleh karena itu, Saya perlu tegaskan kepada semua aparat penegak hukum dalam wilayah
Kabupaten Tapanuli Utara bahwa jika betul berkeinginan keras untuk menjemput paksa saya oleh Kasi Pidum Kejaksaan Negeri Tapanuli Utara, maka sudah jelas jelas melanggar Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyelesaian Batasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dan ketentuan Pasal 205 ayat (1) KUHAP yang jika dikaitkan dengan
ketentuan tentang penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Ayat (4) KUHAP yang
menyatakan bahwa penahanan hanya dapat dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, maka terhadap pelaku Tipiring yang ancaman pidananya paling lama 3 bulan penjara atau kurungan memang tidak dilakukan penahanan, karena telah diakui oleh Ketua Pengadilan Negeri Tarutung dalam suratnya tanggal 10 Juli 2022: perkara Nomor: 3./Pid.C/2022/PN Trt, Tanggal 25 Februari 2022 oleh Hakim Hendra Hurabarat SH yang memeriksa perkara tersebut tidak pernah mengeluarkan perintah penahanan terhadap Terdakwa” perjelas YLH.
Prof. Yusuf Leonard Henuk kembali memperjelas, pada kenyataannya, Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHAP. Sebagai tindak lanjut dari Perma ini, telah dibentuk Nota Kesepakatan Bersama (Nokesber) Nomor: 131/KMA/SKB/X/2012; Nomor: M. HH -07. HM. 03. 02 Tahun 2012; Nomor: KEP – 06/E/EJP/10/2012; Nomor: B/39/X/2012, Rabu tanggal 17 Oktober 2012 tentang Pelaksaan Penerapan Penyusunan Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, Serta Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice).
Perma dan Nokesber ini, pada dasarnya mengandung suatu hal yang positif yakni selain upaya memberikan rasa keadilan yang proporsional khususnya bagi pelaku Tipiring, juga memiliki manfaat lain yakni mengefektifkan pidana denda, mengurangi penumpukan perkara di Mahkamah Agung, pelaksanaan asas peradilan pidana yang cepat, sederhana, dan biaya ringan, dan mengurangi overcapasity lembaga pemasyarakatan.
Prof. YLH juga mengataka “Adapun secara faktual terdapat 6 dampak negatif dari dilanggarnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2012 dan Nokesber: 1). Mencoreng nama baik institusi penegak hukum, karena Perma Tipiring (Nomor 2 Tahun 2012) dan Nota Kesepahaman tentang Tipiring (Nokesber) telah dibuat oleh Mahkamah Agung bersama Kejaksaan, Kepolisian dan Kemenkumham”.
Lanjutnya, 2. Penahanan terhadap pelaku Tipiring merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia karena telah merampas kemerdekaan seseorang dengan sewenang wenang. 3). Pelaku Tipiring yang ditahan justru akan membebani dan merugikan Negara (Rutan dan Lapas), sebab biaya untuk mengurus tahanan di Lapas atau Rutan tidak murah.
“Kempat pelaku Tipiring tidak ditahan justru mengurangi overcapasity penghuni Rutan dan atau Lembaga Pemasyarakatan, 5). Pelaku Tipiring justru potensial terkontaminasi dengan pelaku pelaku kejahatan berat lainnya dan ke 6). Menghindari timbulnya trauma berat pada pelaku Tipiring karena hak hak hukumnya telah dilanggar” tutur YLH.
Dengan demikian, Prof. YLH sangat mendukung penuh upaya dari Ketua Mahkamah Agung RI yang telah menindaklanjuti disposisi suratnya perihal belum memenuhi panggilan dieksekusi karena vonis hakim bertentangan dengan Perma Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Ringan (Tipiring).
Kini, Prof. YLH dengan tengas mengumandangkan siap melakukan Gugatan “Perbuatan Melawan Hukum” (PMH) yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang Undang Hukum Perdata melawan: (1) Pengadilan Negeri Tarutung, (2) Kepolisian Resor Tapanuli Utara dan (3) Kejaksaan Negeri Tapanuli Utara: Hakim Hendra Hurabarat, SH, Pengadilan Negeri Tarutung dan Kasat Reskrim, Kepolisian Resor Tapanuli Utara.
Prof. YLH menyampaikan tuntutanya Kerugian materiil sebesar Rp 100.000.000, Kerugian immateriil sebesar Rp. 1.000.000.000 disapingeng hukum para oknum untuk menyampaikan permohonan maaf kepada dirinya melalui surat kabar, minimal dalam 7 surat kabar nasional/ lokal.
Singkatnya, kepada Kasat Reskrim, Kepolisian Resor Tapanuli Utara dan atau Kasi Pidum, Kejaksaan Negeri Tapanuli Utara, sudah tidak mungkin melakukan “Jemput Paksa” terhadap Prof. YLH karena sudah pasti tidak mengantongi surat penetapan penahanan dari Ketua PN Tarutung.
Sesuai yang telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyelesaian Batasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dan Pasal 205 ayat (1) KUHAP: “Ketua Pengadilan tidak menetapkan penahanan terhadap terhadap Terdakwa”, apalagi sudah jelas dalam perkara Nomor: 3./Pid.C/2022/PN Trt, Tanggal 25 Februari 2022 oleh Hakim Hendra Hurabarat SH, yang memeriksa perkara tersebut Hakim tidak pernah mengeluarkan perintah penahanan. Freddy Hutasoit






Discussion about this post