IGNews | Pekalongan – Ratusan warga, tokoh masyarakat dan pelajar serta mahasiswa padati monumen perjuangan Kota Pekalongan – Jawa Tengah, selain upacara dan aksi teatrikal, momentum tersebut dimeriahkan oleh UKM Gemanada UMPP. Guna memperingati para Kusuma Bangsa yang gugur ditangan Kempetai Jepang, Senin (3/10/2022).
Monumen juang yang dahulu bernama Lapangan Kebon Rojo menjadi saksi tumpah darah rakyat Pekalongan dalam mempertahankan kemerdekaan. Kabar kekalahan Jepang pada perang dunia kedua dengan tentara sekutu terdengar pertama kali pada tanggal 14 Agustus 1945 pukul 21.00 Wib. Beberapa anggota Barisan Pelopor di Tegal secara sembunyi sembunyi mendengarkan siaran kekalahan Jepang melalui radio Saigon.
Pada tanggal 28 Agustus 1945, di Karisedenan Pekalongan dibentuklah KNID denga Ketua dr. Sumbardji dan Wakil Ketua dr. Ma’asl, bersamaan atas usulan KNID Pekalongan, Mr. Besar Martokusumo dilantik menjadi Residen Pekalongan oleh Presiden Soekarno.
Pada akhir September atau awal Oktober, usaha pertama yang dilakukan KNID ini adalah pengambil alihan kekuasaan dari tangan Jepang. KNID Pekalongan sudah mulai menghubungi Syuchokan Pekalongan, yaitu Tokonomi agar menyerahkan kekuasaannya kepada rakyat Pekalongan.
Keesokan harinya pada tanggal 3 Oktober 1945, masyarakat Pekalongan sudah berkumpul di Lapangan Kebon Rojo (Sekarang menjadi Monumen) depan gedung Kempetai sejak pukul 08.00 Wib pagi.
Mereka berdatangan dari Batang, Buaran, Comal, dan Pekalongan dengan pakaian siap tempur dan membawa senjata seadanya seperti bambu runcing, parang, pentungan, potongan besi dan lain sebagainya.
Pada saat yang sama, di tengah perundingan di Gedung Kempetai, terjadi penyanderaan orang-orang Jepang dari kelompok Pemerintah dan kelompok Sakura, yang disekap oleh massa di salah satu ruangan kantor Shu Choo. Perundingan dimulai pukul 10.00 mereka terdiri dari Tokonomi (Suchokan), Kawabata (Kempetaidan), Hayashi (Staf Kempetai), Harizumi (Penerjemah).
Sedangkan pihak Pekalongan terdiri dari Mr. Besar, dr. Sumbardji, dr. Ma’as . Dan barisan selatan terdiri dari R. Suprapto, A. Kadir Bakri, Jauhan Arifin.
Dalam perundingan tersebut, Rakyat Pekalongan menuntut tiga hal yaitu : 1). Pemindahan kekuasaan dilakukan secara damai dan secepatnya 2). Semua senjata Jepang harus diserahkan kepada rakyat Pekalongan dan 3). Memberikan jaminan kepada pihak Jepang bahwa mereka akan diperlakukan dengan baik dan dikumpulkan di markas Keibetei (Sekarang Museum Batik).
Namun perundingan berjalan alot, pihak Jepang tidak setuju dengan tiga tuntutan yang diajukan, karena mereka merasa masih berkewajiban menjaga status quo yang ada kepentingan,keamanan dan ketentraman rakyat.
Setelah 2 jam berunding, Mr. Besar keluar dan memberitakan hasil perundingan, yaitu pihak Jepang akan menyerahkan sebagian senjata kepada Polisi Pekalongan agar jumlah senjata Jepang dengan Polisi Pekalongan sama. Tetapi semua senjata harus disimpan di societet dan kuncinya dipegang oleh Mr. Besar dan Kempetai Jepang.
Tentara Jepang yang berada di barisan keamanan gedung mendadak memberondongkan peluru ke kerumunan massa yang hadir. Seketika itu banyak korban rakyat Pekalongan yang jatuh. Situasi yang tidak seimbang ini membuat puluhan orang tewas, ruangan itu penuh dengan genangan darah yang menjadi saksi Korban Keganasan Jepang. Akhirnya pada tanggal 10 Oktober 1945, Jepang meninggalkan bumi Pekalongan menuju Purwokerto, mereka dievakuasi secara diam diam pada pukul 04.30 WIB dari Pekalongan lewat Tegal dan setiap tahun ditanggal 03 Oktober Kota Pekalongan selalu mengadakan peringatan peristiwa tersebut dimalam hari agar para generasi muda terus mengetahui sejarah. MasAnd





Discussion about this post