iGNews | Internasional – Peradaban manusia yang paling awal muncul antara 3.000 dan 4.000 tahun yang lalu, dan sejak saat itu, manusia sebagai suatu spesies telah hidup dalam keadaan damai selama kurang lebih 268 tahun. Dan sebanyak 1 miliar orang mungkin telah meregang nyawa sebagai akibat langsung dari perang, menurut “Apa yang Harus Diketahui Setiap Orang Tentang Perang” (Free Press, 2003).
Kekerasan jelas bukan fenomena modern, tapi apakah itu bagian yang melekat pada diri manusia? Apakah kita telah berevolusi untuk menjadi agresif?.
Ternyata jawabannya tidak sederhana. Sebuah studi tahun 2014 yang diterbitkan di jurnal Nature mencatat bahwa kekerasan fatal adalah hal yang umum terjadi di komunitas salah satu kerabat primata terdekat kita, yaitu simpanse (Pan troglodytes).
Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan mungkin telah menjadi bagian dari khasanah manusia setidaknya sejak nenek moyang terakhir kita bersama simpanse, yang hidup sekitar 8 juta tahun yang lalu.
Jadi jelas, kekerasan sudah lazim terjadi selama manusia ada, kata para ahli kepada media.
“Kekerasan adalah pendorong sebagian besar sejarah manusia” kata David C. Geary, seorang ilmuwan kognitif dan psikolog evolusioner di University of Missouri di Columbia, kepada media.
“Semua peradaban awal manusia dibangun melalui intimidasi dan kekerasan” ucapnya.
“Ada juga bukti agresi sebelum sejarah mencatat tulang dengan bukti kematian akibat kekerasan, seperti ujung panah yang tertanam atau tengkorak yang ditancapkan” kata Pat Barclay, seorang psikolog evolusioner di University of Guelph, Ontario, kepada media melalui surel.
Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan sudah ada sebelum masyarakat yang kompleks dan munculnya peradaban.
“Namun di sisi lain, tingkat kekerasan bervariasi (dan secara historis bervariasi) secara ekstrem di berbagai budaya dan komunitas” kata Barclay. Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan dapat meningkat atau menurun secara dramatis pada spesies kita.
Masyarakat nomaden, misalnya, cenderung memiliki tingkat kekerasan antarmanusia yang lebih rendah, sementara era yang dipenuhi dengan masyarakat yang bertekad untuk menjarah dan menaklukkan, tidak mengherankan, memiliki tingkat yang lebih tinggi.
“Ada variasi yang luas dalam tingkat kekerasan dengan urutan perbedaan yang besar” kata Barclay.
“Dalam beberapa masyarakat tertentu yang tercatat, hingga setengah dari semua laki laki mati dengan kekerasan di tangan laki laki lainnya. Dimasyarakat tertentu lainnya, kekerasan fisik sangat jarang terjadi, seperti di Jepang modern” ucapnya.
“Kekerasan cenderung menimbulkan kembali kekerasan, yang berarti bahwa budaya di mana konflik adalah hal yang biasa terjadi lebih cenderung mengalami kekerasan dari generasi ke generasi” kata Geary.
Dengan cara ini, kekerasan “ditularkan” seperti halnya penyakit menular, menurut ahli epidemiologi dari University of Illinois, Gary Slutkin.
Namun, Brad Evans, seorang profesor kekerasan politik di University of Bath di Inggris mengemukakan bahwa bahkan orang orang di komunitas yang paling progresif dan damai pun mampu melakukan kekerasan.
“Orang yang biasa dan taat hukum bisa dengan cepat berubah menjadi monster begitu kondisi berubah; sama halnya, beberapa orang yang paling tidak disukai bisa saja menunjukkan tindakan kebaikan yang luar biasa. Tidak ada formula yang jelas mengapa seseorang bertindak dengan cara kekerasan. Dan itulah mengapa ini merupakan masalah yang kompleks” kata Evans kepada media melalui email.
Selain itu, menurut Barclay dan Evans, akan jauh lebih mudah untuk melakukan tindakan kekerasan jika individu yang melakukan kekerasan berada jauh dari korbannya; jauh lebih mudah untuk menekan tombol yang meluncurkan rudal nuklir daripada secara fisik dan langsung melakukan pukulan mematikan.
“Misalnya, dalam penelitian klasik Stanley Milgram tentang kepatuhan, di mana seorang peneliti menyuruh partisipan memberikan sengatan listrik dengan intensitas yang meningkat kepada orang lain, partisipan lebih enggan menyetrum korban jika mereka secara fisik lebih dekat dengan korban” kata Barclay.
Dan secara historis, tindakan genosida terjadi setelah pelaku merendahkan martabat manusia, atau menciptakan jarak psikologis, antara mereka dan orang-orang dari ras atau etnis yang berbeda.
Mungkin juga ada “dua jenis” agresifitas dalam evolusi manusia, yaitu proaktif dan reaktif, Richard Wrangham, seorang profesor riset di Departemen Biologi Evolusioner di Universitas Harvard, melaporkan pada tahun 2017 di jurnal Proceedings of the National Academies of Science. Kekerasan proaktif secara historis terkait dengan penjajahan, ketika sebuah kelompok bertekad untuk mengambil sumber daya atau tanah orang lain. Kekerasan reaktif, di sisi lain, dapat digambarkan sebagai respons langsung terhadap tindakan invasi.
Namun, meskipun kekerasan tampaknya merupakan karakteristik manusia yang sudah mendarah daging, Barclay yakin bahwa masih ada ruang untuk optimisme hingga titik tertentu.
“Secara obyektif, setiap individu jauh lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami kekerasan saat ini dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya” katanya.
“Saat ini kita berada di era yang paling damai dalam sejarah. Namun, hal itu tidak menjamin akan tetap seperti itu. Kecuali kita melawan perubahan iklim, akan ada lebih banyak kelangkaan, lebih banyak bencana, lebih banyak keputusasaan, dan lebih banyak alasan untuk berkonflik” tutupnya. IGN_Why
Berita ini juga sudah terbit dalam bahasa Inggris di Media Livescience dengan judul “Are Humans Inherently Violent?”.




