Jakarta – Jika perkembangan wisata Kawasan Danau Toba (KDT) tidak diantisipasi penataan dan pertumbuhannya sejak dini, dimungkinkan rawan atau berpotensi rawan terhadap segala bentuk eksploitasi ekonomi dan eksploitasi seksual komersial serta pelanggaran – pelanggaran hak anak lainnya.
“Anak sangat berpotensi menjadi korban perdagangan narkoba dan obat bius, pornografi fedofilia dan bentuk-bentuk sekploitasi seksual komersial bentuk lainnya” demikian disampaikan Arist Merdeka Sirait Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Sabtu (31/8/2019).
Lebih jauh Arist mengingatkan pengelolaan KDT bahwa wisata seperti penataan lingkungan hidup dan sanitasi, prilaku wisata kuliner, pembangunan infrastruktur daerah wisata, serta pengembangan dan pertunjukan seni dan budaya wajib mengedepankan kepentingan terbaik anak.
“Mari kita jaga dan lindungi anak dari segala dampak negatif dari perkembangan wisata kita (the best interest of the child). Inilah prinsip dasar pembangunan destinasi wisata Ramah Anak yang harus menjadi komitmen kita semua” tegasnya.
“Saya belum melihat pembangunan destinasi wisata KDT sebagai tujuan wisata dunia yang dicanangkan pemerintah pusat beberapa waktu lalu, penataan dan pembangunannya mempertimbangkan kepentingan terbaik anak, pendek cerita belum kearah sana” tambahnya.
Konon di beberapa negara seperti Thailand, Filipina, Vietnam dan beberapa negara Asean lainnya sudah mengantisipasi sejak dini pembangunan wisata tiap – tiap negara selalu mengedepankan kepentingan terbaik anak dengan cara salah satunya mengkampanyekan wisata ramah anak dan wisata yang mengedepankan kepentingan terbaik anak.
“Seperti mewajibkankan setiap hotel dan tempat hiburan wisata dan hiburan malam dan destinasi wisata lainnya untuk dilarang melibatkan anak dalam tujuan wisatanya seperti penggunaan sexual anak (child prostitusi anak) dengan mengingatkan wisatawan dengan ancaman pidana maksimal sehingga anak-anak terjaga dan terlindungi dari segala bentuk tujuan eksploitasi seksual komersial, fedofila, eksploitasi ekonomi, perdagangan obat bius, narkoba, pornografi dan bentuk-bentuk pelanggaran hak anak lainnya” ujarnya.
Tanda kearah eksploitasi telah terlihat di KDT seperti tingginya anak-anak terpapar HIV/AID, tingginya pengguna akun pornografi dan porno aksi, banyaknya anak di Kawasan wisata Danau Toba saat ini menjadi pekerja dengan menawarkan dagangannya kepada wisatawan lokal dan international pada event wisata tertentu misalnya pada hari Sabtu dan Minggu dan pada hari-hari besar lainnya serta berkembangnya tempat hiburan malam di pinggir atau tepi pantai atau Danau dengan menawarkan praktek prostitusi dan narkoba.
“Nah,…jika situasi ini tidak diantisipasi sejak dini, maka Wisata KDT dimungkinkan berpotensi menjadi surganya bagi penikmat fedofilia, seksual komersial anak, perdagangan dan peredaran narkoba seperti yang pernah diduga terjadi di Bali,” jelasnya.
Atas tanda dan ciri dari destinasi wisata ini, Komnas Perlindungan Anak Indonesia sebagai lembaga yang diberikan mandat untuk melakukan penghormatan, pembelaan dan perlindungan bagi Anak Indonesia, meminta dan mendesak serta mengingatkan pengelola KDT dan kepada semua pemimpin daerah di KDT untuk segera mengkampanyekan Destinasi wisata KDT sebagai wisata Ramah Anak, paling tidak PULAU SAMOSIR ramah anak, dengan melibatkan tekat bersama semua stakeholder termasuk pengelola hotel dan penginapan daerah tujuan wisata, tempat kuliner, dan tempat hiburan serta kebijakan pemerintah yang mengarah pada memberikan perlindungan bagi anak dari dampak negatif wisata.
“Tidaklah berlebihan demi masa depan dan kepentingan terbaik anak, sudah saatnya Destinasi Wisata KDT menjadi wisata Ramah Anak” pintanya.
Untuk mewujudkan ke arah sana diperlukan komitmen pemerintah dan wakil Rakyat (DPRD) melahirkan Peraturan Daerah (Perda) dan masing-masing kepala Desa di KDT membuat Peraturan Desa (Perdes) Tentang Gerakan Perlindungan Anak Sekampung (SAHUTA) dengan menggunakan kearifan lokal dengan cara menggerakkan kembali sistim kekerabatan yang ada ditengah masyarakat dan adat Bangso Batak yakni “SISADA ANAK SISADA BORU” sebagai antisipasi dampak negatif dari perkembangan wisata.
“Dengan demikian masyarakat KDT dan pemerintah bisa berkomitmen Destinasi Wisata KDT menjadi wisata Ramah anak di masa depan” tutupnya. Tony siallagan





Discussion about this post